Jumat, 30 Oktober 2009

makalah pornoaksi&pornografi study hukum indonesia

Bab I

PENDAHULUAN

Dewasa ini di negara kita, Indonesia, kasus-kasus pornografi dan pornoaksi memperoleh perhatian khusus baik dari kalangan eksekutif, yudikatif, legislatif, serta masyarakat, termasuk tokoh-tokoh agama, kalangan artis, mahasiswa dan pemuda. Masih ingatkah anda dengan goyangan ‘ngebor’ yang sempat popular di kancah musik dangdut kita? Walaupun kalangan tertentu sempat mengkritik, mencemooh, bahkan menghujat goyangan tersebut, sebenarnya goyang ‘ngebor’ mendapat hati di sebagian besar masyarakat kita. Bagaimana dengan maraknya penjualan VCD porno? atau bahkan artis yang ikut di dalamnya adalah remaja-remaja kita. Sedemikian bejatkah moral pemuda-pemudi kita? Lebih lanjut, akhir-akhir ini sedang hangat-hangatnya kasus penerbitan majalah Playboy Indonesia yang mana sebagian orang menentang pembuatan dan peredaran majalah tersebut di Indonesia. Sejauh mana masyarakat Indonesia dapat menerima jepretan foto-foto ‘panas’ yang artistik, tidak murahan, dan esensial bagi sebagian kaum adam? Sejumlah kalangan merasa perlu untuk sesegera mungkin dirumuskannya dan ditetapkannya Undang-Undang anti pornografi dan pornoaksi. Namun hal ini sepertinya tidak semudah yang dibayangkan, sebab pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab adalah sejauh mana batasan-batasan pornografi dan peronoaksi itu sehingga suatu hasil karya dapat dikategorikan sudah melebihi batasan kewajaran (porno) dalam konteks etika di negara ini. Rancangan Undang-Undang (RUU) anti pornografi dan pronoaksi nantinya akan berjalan kurang efektif untuk mengatasi kasus-kasus pronografi dan pornoaksi yang muncul di Indonesia.


b.rumusan masalah


a.pengertian pornoaksi dan pornogarafi

b.kejahatan akibat pornografi (kasus di Indonesia)

c.aturan hokum yang mengatur masalah pornografi di Indonesia serta begaimana penerapannya di masyarakat.


Bab II


a.pengertian pornografi









b.kejahatan akibat pornografi (kasus di Indonesia)


Sebagai pembuka, saya kutip beberapa berita dan pernyataan yang berkaitan dengan bahaya pornografi.

Pornografi mendatangkan bahaya bagi umat manusia. Berikut ini adalah kutipan dari tulisan yang disebarkan oleh sebuah komunitas Kristen di Long Island, New York (www. Liccv.org). Mereka sangat prihatin dengan kultur mereka yang sangat didominasi oleh kebebasan seksual.

Riset telah menunjukkan bahwa pornografi dan pesan di dalamnya membentuk sikap dan mendorong terbentuknya perilaku yang dapat merugikan individu pengguna dan keluarga mereka. Pornografi meningkatkan dorongan perzinaan, prostitusi, dan harapan khayali yang dapat mengakibatkan perilaku promiscuous yang berbahaya (melakukan sesuatu tanpa memilih-milih mana yang baik mana yang buruk).

Banyak studi menemukan bahwa pronografi sangat menimbulkan kecanduan. The National Council on Sexual Addiction Compulsivity memperkirakan bahwa 6-8 % orang Amerika kecanduan seks. Dr. Victor Cline, seorang pakar kecanduan seks, menemukan bahwa ada 4 tahap perkembangan kecanduan seksual di antara orang-orang yang mengkonsumsi pornografi:

  1. Adiksi: tahap di mana pornografi memberikan rangsangan seksual yang sangat kuat (aphrodisiac effect), diikuti dengan pelepasan, yang paling seringnya dilakukan melalui masturbasi.

  2. Eskalasi: adiksi dalam waktu yang lama akan membutuhkan material yang lebih eksplisit dan menyimpang untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka.

  3. Desensitisasi: apa yang sebelumnya dianggap kotor, mengguncang (jiwa), dan mengganggu, pada tahap ini menjadi suatu hal yang biasa dan bisa diterima.

  4. Tindakan seksual: terjadi peningkatan kecenderungan untuk mencontoh atau berperan sesuai dengan perilaku yang dilihat dalam pornografi.

Di Indonesia, pornografi juga sudah mengakibatkan tindak kejahatan seksual di berbagai penjuru negeri. Beberapa kejadian yang dilaporkan oleh media massa seperti yang dikutip di bawah ini seharusnya membuka mata semua pihak akan bahaya pornografi.

* Di Lampung Utara, seorang kakek ditangkap Tim Buru Sergap Kepolisian Resor Lampung Utara karena disangka memperkosa keponakannya. Tersangka Zaini diringkus di rumah anaknya di kawasan Kedaton, Bandar Lampung. Belum lama berselang, pria berusia 60 tahun ini pura-pura lupa mengingat peristiwa setahun lalu. Tersangka akhirnya mengakui memperkosa remaja berusia 14 tahun itu lantaran tidak kuasa menahan berahi setelah menonton film porno. (www.liputan6.com).

* Abdul Choir yang selama empat tahun memperkosa putrinya, sebut saja Melati. Perbuatan bejad ini sampai melahirkan dua bayi, salah satu di antaranya meninggal karena keguguran. Choir yang ditangkap Polisi Sektor Jagakarsa di Depok, Jawa Barat, awal bulan ini, tergoda rayuan iblis, setelah menonton VCD porno dan mabuk minuman keras. (www.tv7.co.id, 20/10/ 2003).

* Gara-gara terangsang menyaksikan blue film, seorang pedagang krupuk, Imr (20), warga Gang Rulita RT 1 RW 7 Kelurahan Harjasari Kec. Bogor Selatan Kota Bogor diduga mencabuli gadis kecil, NH (8), warga setempat, Kamis (20/2). (www.pikiran-rakyat.com).

* Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, seperti pemerkosaan dan pencabulan, yang terjadi di Jakarta Timur tahun 2003 meningkat dibandingkan dengan tahun 2002. Data mengenai dugaan peningkatan kasus itu hanya berdasarkan pada kasus-kasus yang terpantau pihak kepolisian lewat laporan korban. Data di unit Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Polres Jakarta Timur, Senin (6/1) menunjukkan, jumlah kasus pemerkosaan yang terjadi antara Januari hingga akhir September lalu mencapai 24 kasus. Jumlah itu meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun 2002 yang hanya delapan kasus pada bulan yang sama. Sementara itu, untuk pencabulan terhadap anak-anak, tercatat 28 kasus. Dibandingkan dengan tahun 2002 pada bulan yang sama, jumlah itu meningkat dua kali lipat. Dari hasil pemeriksaan terhadap pelaku yang sudah tertangkap, 75 persen kasus pemerkosaan dan pencabulan dilakukan akibat menonton video compact disc (VCD) porno. (Kompas, 7/10/ 2003).

* Di sebuah SD di Lombok Barat, misalnya, seorang anak kelas dua SD coba diperkosa empat kawannya yang duduk di kelas empat. Di kabupaten lain pun terdapat kasus anak kelas enam mau memperkosa siswa kelas empat. “Kasus pemerkosaan yang melibatkan pelajar ini sudah sangat memprihatinkan,” kata Kerniasih. Dari kasus-kasus yang terjadi, hampir seluruhnya bersumber pada rangsangan seksual akibat pelaku menonton tayangan porno. Ada anak yang mengaku hal itu dilakukan setelah menonton film India, ada juga karena nonton tayangan seperti goyang ngebor dan VCD porno yang beredar secara bebas. (www. Balipost.co.id/balipost cetak/2004).


Dalam pembahasan masalah pornografi dan pornoaksi perlu adanya pengetahuan tentang etika dan pengertian beberapa kata yang krusial dalam RUU anti pornografi dan pronoaksi. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral yang dapat menghimbau manusia untuk berperilaku baik. Masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi etika dalam kehidupannya di berbagai hal. Masih banyak masyarakat kita yang belum paham pengertian dari pornografi dan pornoaksi itu sendiri. Mengutip pengertian dua kata tersebut dalam RUU anti pornografi dan pronoaksi, pornografi diartikan sebagai substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotica, sedangkan pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum. Pasal-pasal dalam RUU anti pornografi dan pronoaksi secara jelas melarang seseorang untuk membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa, tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis atau bergoyang erotis, aktivitas orang yang berciuman bibir, melakukan onani atau masturbasi, dan sebagainya. Pasal-pasal lain dalam RUU anti pornografi dan pronoaksi juga melarang untuk menyiarkan, memperdengarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa, daya tarik orang yang menari erotis atau bergoyang erotis, aktivitas orang yang berciuman bibir, dan sebagai nya melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi media. Lebih lanjut detail sebagian bunyi pasal-pasal tersebut dapat dibaca pada salinan RUU anti pornografi dan pronoaksi di bagian berikutnya.


c.ketentuan hokum yang mengatur masalah pornografi dan penjelasannya.


Negara republic Indonesia adalah Negara hokum yang berdasarkan pancasila pancasila dan UUD Negara republic Indonesia tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral,etika akhlak mulia dan kepribadian luhur bangsa,beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,menghormati ke bhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa ,dan bernegara serta melindungi harkat dan martabat setiap warga Negara.

Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi,khususnya tekhnologi informasi dan komunikasi,telah emeberikan andil terhadap meningkatnya perbuatan,penyebarluasan,dan penggunaan pornogrfi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moraldan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan social masyarakat Indonesia.berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningktnya tindak asusila dan pencabulan.

Majelis permusyawaratan rakyat republic Indonesia telah mengisyaratkan melalui ketetapan MPR RI No VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelasanaan etika kehidupan berbangsa,yang salah satunya disebbkan oleh meningkatnya tindakan asusila,pencabulan,prostitusi dan media pornografi,sehingga di perlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong kekuatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia .

Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan peundang undangan yang ada,seperti kitab undan-undang hokum pidana (KUHP),undang-undang no 43 tahun1999 tentang pers,undang-undang no32 tahun 2002 tentang penyiaran dan undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak kurang memedai dan belum memenuhi kebutuhan hokum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat UU baru yang secara khusus mengatur porografi.

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan YME,penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan,kebhinekaan,kepastian hokum ,mendiskriminasi,dan perlindungan terhadap warga Negara.hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam UU ini adalah:

1.menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama.

2.memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga Negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya.

3.melindungi setiap warga Negara,khususnya perempuan,anak dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.


Pengaturan pornografi dalam UU ini meliputi:

1.pelarangan dan pembatasan pembuatan,penyebarluasan,dan penggunaan pornografi.

2.perlindungan anak dari pengaruh pornografi.

3.pencegahan pembuatan,penyebarluasan,dan penggunaan pornografi,termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.


1.pelarangan dan pembatasan pembuatan,penyabarluasan,dan penggunaan pornografi.


-pasal 4

(1)setiap orang dilarang memproduksi,membuat,memperbanyak,menggandakan,menyebarluaskan,menyiarkan,mengimpor,mengekspor,menawarkan,memperjualbelikan,menyewakan atau menyediakan pornografi secara eksplisit.

-pasal 5

Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dlam pasal 4 ayat (1).

-pasal 6

Setiap orang dilarang memperdengarkan,mempertontonkan,memenfaatkan atau memiliki atau menyimpan produk pornografisebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1),kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan (misalnya seperti lembaga penyensor perfilman).


-Pasal 8

Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornogarafi.


-pasal 14

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan,penyebarluasan,dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan pasal 13 diatur dengan peraturan pemerintah.




2.perlindungan anak terhadap pornografi.


-pasal 15

Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.


-pasal 16

(1)pemerintah,lembaga social,lembaga pendidikan,lembaga keagamaan,keluarga dan masyarakat berkewjiban memberikan pembinaan,pendampingan,serta pemulihan social,kesehatan fisik dan mental bagi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

(2)ketentuan mengenai pembinaan,pendampingan,serta pemulihan social,kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.


3.pencegahan,pembuatan,penyebarluasan,dan penggunaan pornografi,termasuk pern serta masyarakat dalam pencegahan.


a.pencegahan

bagian kesatu (peran pemerintah).


-pasal 17

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan,penyebarluasan,dan penggunaan pornografi.


-pasal 18

(tentang upaya pencegahan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17 yang dilakukan oleh pemerintah).


-pasal 19

(tentang upaya pencegahan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17 yang dilakukan pemerintah daerah).

Bagian kedua (peran serta masyarakat).


-pasal 20

Masyarakat dapat berperanserta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan,penyebarluasan,dan penggunaan pornografi.


-pasal 21

Ayat (1)dan (2) (tentang tata cara peran serta masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 20 ).


-pasal 22

Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.


b.penyidikan ,penuntutan,dan pemeriksaan di sidang pengadilan.


-pasal 23

Penyidikan,penuntutan,dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan UU tentang Hukum Acara Pidana,kecuali ditentukan lain dalam UU ini.


-pasal 24


(memuat tentang barang bukti yang diatur dalam UU tentang hokum Acara Pidana).

-pasal 25

(1)untuk kepentingan penyidikan,penyidik berwenang membuka akses,memeriksa dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam computer,jaringan internet,media optic ,serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.

(2)untuk kepentingan penyidik,pemilik data,penyimpan data,atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.

(3)pemilik data,penyimpan data,atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.


-pasal 26penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data,penyimpan data,atau penyedia jasa layanan komunikasi ditempat data tersebut didapatkan.

-pasal 27.


c.pemusnahan


-pasal 28 ayat (1) dan (2).


d.ketentuan Pidana


-pasal 29

Setiap orang yang memproduksi,membuat ,memperbanyak,menggandakan,menyebarluaskan,menyiarkan,mengimpor,mengekspor,menawarkan,memperjualbelikan,menyewakan atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6(enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

-pasal 30, 31 , 32 , 33 , 34 , 35, 36 , 37 , 38 , 39 , 40 ,dan 41.


UU ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran perbuatan,penyebarluasan,dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang di lakukan,yakni berat,sedang,dan ringan,serta memberikan pemberatan terhadap pembuatan pidana yang melibatkan anak.disamping itu,pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.


Namun melihat dari banyaknya kasus yang terjadi sepertinya Rancangan Undang-Undang anti pornografi dan pronoaksi berjalan kurang efektif untuk mengatasi kasus-kasus pronografi dan pornoaksi yang muncul di Indonesia jika RUU tersebut nantinya disahkan dan diterapkan. Memang diatas kertas RUU tersebut tampaknya baik-baik saja dan sepertinya mudah untuk di terapkan. Namun dalam penerapannya hal itu tidaklah mudah jika RUU tersebut tidak mengalami perubahan yang siknifikan. Ada beberapa faktor yang menjadikan RUU anti pornografi dan pronoaksi lemah dalam implementasinya.

Pertama, RUU anti pornografi dan pronoaksi dibuat berdasarkan pendekatan moral dalam etika berperilaku yang ada di masyarakat. Perlu diingat bahwa etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun kelompok (dalam hal undang-undang acuan yang dipakai adalah seluruh masyarakat Indonesia). Pertanyaannya sekarang adalah apakah yang dilarang RUU anti pornografi dan pronoaksi memang benar-benar hal yang buruk? Dan apakah hal yang lolos dari RUU anti pornografi dan pronoaksi memang benar-benar baik? Dua pertanyaan di atas tentulah tidak mudah untuk dijawab. Orang yang beranggapan bahwa RUU anti pornografi dan pronoaksi selalu menghasilkan sesuatu yang baik adalah orang yang tidak relistis, sebab pemikiran kritis yang sebenarnya harus kita gunakan. Lebih lanjut, masalah pronografi dan pornoaksi lebih mempertanyakan moral dan akhlak masing-masing individu, sehinggga harus dijawab pula oleh moral yang baik dari setiap orang. Sebagai contoh, goyang ‘ngebor’ akan terkesan bukan sebagai suatu pornoaksi apabila orang melihatnya sebagai suatu gerakan seni atau tarian yang indah apa adanya. Disnilah dituntut suatu kedewasaan dan kontrol diri. Justru orang yang melihat goyangan tersebut sebagai suatu pornoaksi adalah orang yang tidak dapat mengendalikan nafsunya dan undang-undang yang dibuat pun akan sia-sia karena tidak mengenai sasarannya. Sebagai analogi, orang yang sedang menjalani diet melihat ada banyak makanan di atas meja. Memang bagi dia makanan tersebut sangatlah provokatif dan pastilah dia memiliki nafsu untuk menyantapnya, sekarang tinggal bagaimana orang tersebut menyikapinya. Jika orang tersebut memiliki keteguhan hati maka ia tidak akan makan makanan tersebut. Makanan tersebut sama halnya dengan goyangan ‘ngebor’ yang sebenarnya bisa kita jadikan sebagai sesuatu yang tidak menimbulkan masalah. Lebih lanjut, memperbaiki moral setiap individu melalui jalur atau proses yang lebih rasional, misalnya lewat pendekatan-pendekatan agama, budi pekerti dan pancasila, lebih efektif daripada sekedar undang-undang dalam bahasa yang ‘mati’.

Faktor yang kedua adalah konteks yang sebaiknya dipakai dalam memutuskan benar salahnya suatu perilaku, dalam hal ini pronografi dan pornoaksi, dimana dapat dikategorikan sudah melanggar norma moral dalam etika berperilaku di masyarakat. Pedoman yang mengacu pada etika sangatlah baik sebab etika bermaksud untuk memberikan kebebasan yang bertanggungjawab pada manusia dalam bertindak, karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi (suara hati) yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggungjawabkan tindakannya itu karena memang ada alasan-alasan yang kuat mengapa ia bertindak. Oleh karena itu, RUU anti pornografi dan pronoaksi yang melarang tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik aktivitas orang yang berciuman bibir adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan dalam beberapa kasus. Sebagai contoh, video acara resepsi pernikahan atau foto-foto kenangan pribadi yang memuat perihal berciuman bibir semestinya adalah sesuatu yang sah-sah saja sebab hal tersebut berada dalam konteks yang pantas untuk dibenarkan dimana emosi seseorang dalam perilaku tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Contoh lain yang akhir-akhir ini diperdebatkan adalah pose-pose ‘panas’ seorang artis dalam beberapa media cetak tertentu, sebagai contoh majalah Playboy Indonesia. Sesuai pemikiran kritis dalam beretika, hal ini pun juga tidak dapat dikategorikan sebagai suatu pornografi karena pose-pose yang menurut sejumlah orang tidak pantas untuk diterbitkan tersebut berada dalam konteks yang dapat dibenarkan. Seperti yang kita ketahui bahwa pose-pose ‘panas’ tersebut dimuat dalam sebuah majalah yang diperuntukan bagi orang dewasa. Tentu saja apabila foto-foto atau gambar-gambar tersebut dimuat dalam majalah anak-anak atau remaja adalah sesuatu yang tidak benar sebab berada dalam konteks yang salah. Dalam hal ini orang dewasa dianggap sesuai mengkonsumsi gambar-gambar tersebut sedangkan bagi anak-anak tidak sesuai. Orang-orang yang memiliki pandangan bahwa gambar-gambar tersebut merupakan suatu pornografi adalah orang yang tidak kritis dan tidak relistik terhadap apa yang sudah dikerjakan dengan profesional dan memiliki sentuhan emosi artistik yang indah sebab pose-pose tersebut tidak menampilkan seorang model yang telanjang tanpa penata rias, cahaya, dan gaya pada waktu pose-pose tersebut diambil. Sama halnya dengan lukisan-lukisan seorang pelukis yang mengilustrasikan seseorang yang telanjang namun sarat emosi dan makna. Lebih lanjut, hak cipta seorang artis lah yang seharusnya lebih di perhatikan.

Faktor ketiga yang cukup krusial yang ada dalam kelemahan RUU anti pornografi dan pronoaksi adalah banyaknya kata sifat dan kata-kata lain yang sebenarnya mengandung unsur-unsur relatifitas dan perlunya pemahaman yang tidak rancu terhadap obyek yang menjadi sasaran (obyektifitas). Sebagai contoh kata sensual, kata sifat itu tidaklah terdefinisi secara jelas derajatnya. Bagian mana saja yang dianggap sensual dari seseorang? Apakah payudara seorang wanita dengan ukuran 36C? Bukankah anda pernah mendengar bahwa ada bibir yang sensual? Apakah semua orang harus menutup bibirnya dengan kain penutup karena bibirnya dianggap sensual? Sesuatu hal yang bodoh jika itu dilakukan dan sungguh mengerikan jika melihat semua orang menggunakan penutup bibir ketika jalan di tempat umum. Kalau begitu kita perlu tahu sejauh mana sensualitas bagian-bagian yang sensual tersebut sehingga dapat dikategorikan melebihi batasan. Lebih lanjut kita juga perlu melihat nilai-nilai obyektifitas dari sebuah obyek. Jangan sampai kita melihat kulit yang bersih dan mulus saja sudah dianggap melanggar undang-undang. Sungguh tragis jika itu terjadi. Jika kita membandingkan antara pria dan wanita, pertanyaan yang muncul terkait dengan pornografi adalah mengapa wanita dianggap tidak pantas menunjukkan bagian payudaranya? Sedangkan kita sering menjumpai model pria yang bertelanjang dada dan itu wajar-wajar saja. Bukankah ini sudah merupakan diskrimiknasi? Ada baiknya peraturan atau undang-undang dibuat sejelas-jelasnya dan tidak menggunakan kata-kata yang mengandung unsur relatifitas. Misalnya, foto atu gambar yang dilarang adalah yang menunjukan bagian payudara dan kelamin seseorang. Contoh lain, dilarang memuat foto dengan model yang mengenakan celana atau rok dengan panjang lebih pendek dari 40 centimeter. Hal ini pun tidaklah mudah untuk dirumuskan sebab masing-masing perumus RUU dan subyek sasaran undang-undangnya memiliki pandangan yang berbeda-beda, namun standarisasi yang kita butuhkan untuk dapat membuat hukum menjadi lebih pasti.





Bab III


Kesimpulan dan saran


Undang undang pornografi adalah produk hokum yang berbentuk UU yang mengatur tentang pornografi.awalnya Uu pornografi merupakan Rancangan UU Antipornografi dan Pornoaksi.dengan melalui proses yang disahkan menjadi UU dalam siding paripurna DPR pada tanggal 30 Oktober 2008.sebelum disahkan menjadi UU bahkan setelah disahkan,banyak terjadi pro dan kontra dikalangan masyarakat Indonesia.


Rancangan undang-undang pornografi dan pornoaksi tidaklah efektif dalam penerapannya. Hal ini didasarkan pada akar permasalahannya yang bersumber lebih pada pemahaman moral dalam etika berperilaku masing-masing individu. Hak seorang artis untuk menciptkan karya-karyanya adalah sesuatu yang harus dihargai dan dijunjung tinggi. Justru para penikmat hasil karya tersebut yang seharusnya bisa mengintrepetasikan hal tersebut dengan benar yang tentunya dilandasi dengan moral dan akhlak yang baik. Kita juga harus melihat konteks dimana suatu gambar, lukisan, dan sebagainya itu ditempatkan. RUU anti pornografi dan pornoaksi masih mengandung banyak kata yang dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya. Pornografi dan pornoaksi hanya dapat dinilai dengan hati yang bersih serta moral yang baik, bukan dibatasi dengan undang-undang yang memiliki bahasa yang ‘mati’.

Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi UU ini mewajibkan kepada semua pihak dalam hal ini Negara,lembaga social,lembaga pendidikan,lembaga keagamaan,keluarga,dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan,pendampingan,pemulihan ssosial,kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

Berdasarkan pemikiran tersebut,UU tentang pornografi diatur secara konfrehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika,berkpribadian luhur,dan menjunjung tinggi nili-nilai ketuhanan YME,serta menghormati harkat dan martabat setiap warga Negara.




Daftar pustaka

KANSIL,C.S.T.,Drs.S.H. Pengantar Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1993.

http://www.pikiran-rakyat.com

http://www.tv7.co.id

Undang-Undang Pornografi Dan Penjelasannya, IndonesiaTera, Yogyakarta 2008.


2 komentar: